Rumah dan Kelas Sosial

Sore kemarin di tengah perjalanan hujan lebat muncul tanpa permisi, jatuh seperti tak tau malu mengganggu aktivitas manusia. Aku pun begitu, tanpa permisi motorku melipir ke emperan toko yang kelihatannya sedang tutup, untuk Aku singgahi buat berteduh bersama dengan manusia lainnya yang menyesali turunnya hujan. Hujan memang tidak selalu menguntungkan bagi semua orang, meskipun ada yang bersyukur akan hal tersebut. Akupun berteduh sambil menyaksikan motorku kehujanan, handphone yang terselip di dalam saku celana ku ambil untuk menemaniku menunggu hujan reda. Iseng-iseng membuka beranda facebook, dan yah ada postingan dari orang yang membuatku tercangah, yaitu gambar di atas yang aku download langsung dari beranda facebookku. Gambar itu menunjukkan propaganda, pikirku.

Akhir-akhir ini memang sedang heboh dan jadi perbincangan banyak orang tentang asumsi beberapa golongan masyarakat mengenai penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Tak ayal isu tersebut menimbulkan banyak reaksi dari masyarakat, bahkan sampai menjadi sajian acara di salah satu televisi lokal Tvone dalam acara Indonesia Lawyer Club. Sampai pada pernyataan Nusron Wahid yang kontradiksi dengan apa yang dipahami publik tentang Ahok. Semakin panas perdebatan antara kubu yang merasa benar dengan kubu yang juga merasa lebih benar, bak ilmu filsafat yang mencari kebenaran tapi belum tersimpulkan arti kebenarannya.

Ahok yang dituding melakukan penistaan agama dengan berkata bahwa umat Islam dibodohi pakai surat Al-maidah ayat 51 membuat beberapa golongan masyarakat khususnya yang beragama Islam naik pitam. Tidak hanya menjadi buah bibir, serta debat kusir di kalangan publik, akan tetapi sudah menjadi trending topic di beberapa media sosial, sehingga berita ini hampir dengan mudah menyebar ke segala penjuru. Di sini kekuatan media sangat terasa.

Coba perhatikan gambar di atas, ada rumah dan kelas sosial. Rumah yang diilustrasikan pada gambar tersebut bisa merujuk pada agama, budaya, atau mungkin rumah dalam arti sesungguhnya tapi yang Aku pikir agamalah yang dimaksudkan sebagai rumah pada gambar tersebut. Kemudian gambar orang-orang yang ada di dalam rumah maupun di luar rumah selanjutnya bisa disebut sebagai kelas sosial: ada masyarakat biasa, ustadz, perempuan, ilmuan, dan masih banyak kelas sosial yang bisa ditafsirkan pada gambar tersebut.

Tak butuh waktu yang lama Aku berpikir bahwa ini adalah propaganda. Memang kita hidup bernegara di atas keberagaman. Terlihat juga dalam ideologi kebernegaraan kita: pancasila. Tapi keberagaman tersebut tidak sempat membuat kita saling menghargai, jika keberagaman tersebut diilustrasikan sebagai rumah, mungkin kita kurang bersilaturahmi ke rumah tetangga yang akhirnya membuat jarak di antara kita.

Kembali ke kasus Ahok, jika beberapa orang menganggap apa yang dilakukan oleh Ahok merupakan tindakan penyerangan terhadap agama, ada juga kelompok orang yang berpikir itu hanya kesalah pahaman kita akan mengartikan tindakan penistaan. Mirip seperti pernyataan Nusron Wahid. “Ada dua kesalahan umat Muslim di Indonesia, kalau tidak salah paham, pahamnya salah”. Dari perbedaan persepsi ini juga secara eksplisit menunjukan keberagaman, seperti layaknya cara berkebangsaan kita.

Coba mari kita berpikir out of the box, kita keluar dari “rumah” dan melepaskan status sosial yang melekat pada diri kita, coba melihat dari sisi keberagaman dan buang jauh-jauh keogoisan kita dalam beragama meskipun Aku juga sepaham bahwa Islam sebagai agama yang mempunyai misi revolusioner, membebaskan kita dari hiruk pikuk pembodohan yang terjadi. Seperti kata Cak Nun “Yang bilang gubernur itu pemimpin siapa?, gubernur itu pembantu (masyarakat) dalam skala provinsi, kok disebut pemimpin”. Atau kita berpikir akan hikmah yang kita dapatkan dari kasus ini, yang menurut Aa Gym kasus ini memberikan sentilan penting bagi banyak pembantu (pemimpin) daerah untuk menjaga lisannya dari liarnya ucapan manusia yang dapat menyinggung beberapa golongan, atau juga dapat memberikan ilmu bagi masyarakat luas akan makna dari surat Al-Maidah ayat 51 tersebut. Akan selalu ada hikmah yang kita dapat petik dari setiap kejadian, ketimbang koar-koar merasa benar sendiri dan minmbulkan chaos.

Sialan semut-semut licik yang merangkak memanjati gelas kopiku, kopi sepahit ini aku nikmati tidak sendiri, oh semut hina. Sebatang rokokku pun membiarkan dirinya terbakar  habis hampir sampai pada filternya ini tidak menegurku untuk ku nikmatin. Sialan!

Tinggalkan komentar