Sibuk Oleh Toko, Sibuk Oleh Pemuda

Saat mulai duduk di persinggahan kursi kasir toko, saban hari ruas jalan itu tidak luput dari perhatianku. Jalan Lingkar Selatan milik Pulau Lombok, begitu mereka menamainya. Banyak hal yang berubah, juga tidak sedikit yang diam tidak kemana-mana, toko di sudut sana setelah bertahun-tahun masih sama rupa dan kesan, tapi toko milik Haji Mahyudin itu baru, belum lama ini ia memulai aktivitas jual-jualnya. Hilir-mudik kendaraan sama saja: variatif, ia berubah, bergerak tapi tetap sama saja bagiku. Papuq penjual rujak yang setiap pagi mengayuh sepeda-rombong rujak buahnya itu juga tidak berubah, pukul 9 teng! Ia pasti lewat dan tetap terjebak dalam perhatianku, tapi pedagang kambing di ujung timur seberang jalan sana, ia baru, dan tidak lama ia malah menghilang.

Aku juga sudah berpindah, yang lama telah panjang waktu tinggal di Jogja dan kini “baru” mulai kembali menapaki hidup di Lombok. Kita semua manusia berpindah tapi tidak semua mampu mengubah apa-apa. Minggu-minggu belakang ini Aku teramat sibuk, sebagai manajer toko, sebagai guru, sebagai rakyat biasa pun sibuk, sibuk merancang ide perubahan di tengah masyarakat.

Dimulai dari beberapa minggu belakangan ini, Aku banyak mengobrol dengan para pemuda di kampungku, memulai untuk memetakan orang-orang yang bisa ku ajak untuk bekerja sama membangun desa. Singkat kejadian, ketemulah dengan mereka yang mengelompokkan diri dan menyebut nama kelompoknya sebagai Pesan Tren Cemara, sudah lama kelompok ini dibangun dan banyak kegiatan yang mereka sudah dikerjakan tapi akhir-akhir ini kata mereka pekerjaan sudah mulai jenuh, ada tapi tidak bisa bergerak lagi. Baaahh! Mancis kehabisan gas rupanya.

Dan inilah alasan-alasan yang membuatku tidak banyak waktu untuk menulis di blog: mengurus toko, merangkul gerakan pemuda, sedikit kerja menjadi guru.

 

Mengurus Toko

Toko ini milik orang tua, sudah 10 tahun berdiri dan baru sekali melakukan perpindahan. Toko oleh-oleh khas Lombok, ada jajaran makanan lokal, ada kopi dan juga jenis-jenis madu, kaos-kaos, kain tenun ikat, topi, peci, sampai gantungan kunci dan masih banyak hal lain yang konsumen sebut itu sebagai oleh-oleh.

Setiap pulang kampung ketika masih menjadi seorang mahasiswa, Aku selalu mengawasi perkembangan toko mulai dari pemasukan, pengeluaran, dan semua urusan toko lainnya. Ide-ideku banyak yang sudah jalan, dan bagian yang paling penting adalah relasi sosial yang mengikat dengan konsumen dan para sopir juga dengan para pekerja karena memang dari merekalah rezeki itu datang. Untuk konsumen, ku bilang pada ibu perhatikan kontrol kualitas barang, untuk para sopir berikan tindakkan terima kasih yang tidak hanya berupa ucapan tapi “tindakan lebih” dan untuk para pekerja hidupkan mereka dengan cara yang manusiawi. Konsep sederhana yang bagiku ini semua tidak boleh diabaikan.

Potensi pariwisata di Lombok saat ini tidak main-main, banyak hal yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dari potensi tersebut, menjadi pedagang penjaja oleh-oleh boleh, menjadi guide tour pun bisa subur, apalagi meramaikan budaya lokal bakal kaya kita. Jangan biarkan para tamu yang berkunjung justru mengubur sopan-santun berbudaya kita, itu salah.

Toko-toko supenir di Lombok bak jamur yang mulai tumbuh musim di mana-mana saat ini, dan cara-cara mereka –toko-toko itu– mengembangbiakkan keuntungan pun sangat variatif, lagi-lagi ku katakan pada ibu bahwa kita boleh kalah gaya tapi jangan sampai kalah idealis, cukup hanya dengan tetap menanamkan prinsip sosial tadi dan biarkan mereka menjemput rezekinya kita cukup ambil rezeki milik kita, jangan berbuat curang untuk menjatuhkan yang lain, berkembang memang harus tapi tidak dengan bermain jahat.

 

Para Pemuda di Kampung

Macis yang kehabisan gas, begitu Aku mengartikan para pemuda ini, ide-ide mereka tidak bisa membara karena kehabisan gas, gerak-gerakan mereka tidak bisa jalan lagi-lagi karena kehabisan gas. Untuk memantik rokok saja jika macisnya kosong gas tak berarti apa pun. Para pemuda butuh gas, semangat mereka harus didukung, toh untuk kebaikan hidup bermasyarakat.

Malam itu mereka memberitahu, ada gazebo atau sekepat yang biasanya mereka gunakan untuk belajar dan berdiskusi bareng. Di ujung selatan desa ini letaknya. Milik salah satu dosen di desa ini. Seperti tai ayam, hangat di awal kemudian berubah dingin, ramai di awal sirnalah wajah mereka dengan berlalunya waktu. Seperti itulah mereka menggambarkan keberadaan gerakan mereka.

Lingkungan suportif yang susah mereka taklukan. Term antara Orang Yang Dituakan dengan eksistensi para pemuda bak civil war sama-sama saling melemahkan, yang akhirnya mereka hanya diam kikuk. Takut karena apa yang dikatakan oleh Orang yang Dituakan saklek harus didengarkan jika tidak maka mereka akan dicap durhaka dan tak tahu sopan santun, baahh!!!.

Stigma-stigma lawas seperti main gitar di emperan rumah dan di bibir jalan merupakan ciri kenakalan remaja atau sekedar untuk berpikir beda dari status quo yang sudah ada merupakan hal yang tabu dan Orang yang Dituakan selalu menjaga status quo ini, akhirnya pemuda hanya akan menjadi pewaris stigma-stigma tersebut. Dan lagi, hal yang paling sering diabaikan oleh Orang yang Dituakan adalah perubahan sosial yang muncul dari luar, padalah pada bagian ini sangat esensial dan butuh mawas diri yang baik mengingat bahwa banyaknya pemuda yang lebih aktif di luar lingkungan desa yang pasti akan membawa perubahan-perubahan yang didapatkan dari luar.

Narkoba. Narkoba juga awalnya datang dari luar, rambut-rambut yang dicat warna juga datang dari luar, semua ciri perilaku yang tidak disepakati di dalam desa munculnya dari luar. Apa yang dilakukan oleh Orang yang Dituakan, mereka hanya murka memprotes nir-kontemplasi. Lalu dari sinilah Aku masuk, celah ini adalah jalan memperbaiki apa-apa yang perlu perbaikan. Siapa yang melakukan, pemudalah penyokongnya karena setidaknya mereka banyak punya pengalaman di era yang datang belakangan ini dibandingkan dengan Orang yang Dituakan yang eranya kebanyakan turunan rezim ORBA.

Perihal agama masih menjadi hambatan bagi para pemuda, ciri-ciri beragama masyarakat di desa sini cukup homogen, susah menerima perbedaan ekspresi dalam beragama. Kegiatan tanpa embel-embel agama hanya akan menjadi buah bibir negatif, kecuali olah raga. Pernah sekali waktu Aku menggelar diskusi dengan para pemuda, tema kita mengalir saja mulai dari gerakan-gerakan pahlawan terdahulu sampai pada masalah komunis di Indonesia. Ndilalah, esok harinya tersebar kabar Aku menyebarkan paham komunis, padahal Aku hanya bercerita meluruskan yang sudah lama bengkok tentang pemahaman kita terkait PKI. “Hati-hati, Alung itu komunis, komunis tidak punya agama.” Bukan antek-antek PKI yang kita khawatirkan, tapi bekas kebohongan sejarah yang kelam dan kita masih mempercayainya.

Dan akhirnya saat ini para pemuda sedang bertempur melawan status quo tersebut, bukan menggulingkan kekuasaan tapi mereka harus mampu membuktikan bahwa apa yang pemuda inginkan hanyalah kebebasan berekspresi positif di dalam desa tanpa melupakan kesantunan terhadap Orang yang Dituakan itu.

7 tanggapan untuk “Sibuk Oleh Toko, Sibuk Oleh Pemuda

  1. Terjun ke masyarakat memang sulit ya Bang. Apa yang kita maksud baik belum tentu di anggap baik oleh mereka, apalagi yang cuma di ambil kata sensitifnya saja. Seperti isu yang mereka sebarkan terhadap bang Alung itu.
    Hmm. Semangat Bang. Semoga sabar dan tekun selalu. 🙌

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar